Baru kemarin aku dapati invitation ke sebuah grup line berisikan
orang-orang yang pernah bersamaku di masa lalu. SD, sekolah dasar yang aku
cintai.
Begitu banyak kenangan yang kudapatkan dari sana. Kenangan masa kecil
yang masih polos senang bermain juga malas belajar.
Ketika kulihat siapa saja orang-orang di dalamnya,
Aku ingat persis siapa saja mulai dari rupa, sifat, hingga rajin
malasnya.
Aku ingat persis bagaimana mereka yang masih lugu mencoba mendewasakan
diri.
Aku ingat persis bagaimana rasa sayang mereka kepada para guru dulu.
Aku ingat persis bagaimana mereka masuk telat, tidur, bercanda, hingga membuat onar di
kelas.
Aku ingat persis ekspresi para guru menghadapi mereka. Kepada yang
rajin, pintar, malas, dan bandel.
Lalu beberapa saat setelahnya muncullah rasa sedih.
Mengapa aku sedih?
Aku lihat foto profil orang-orang yang dulu adalah teman satu SD-ku
dulu, gaya bahasa yang digunakan, dan sikap yang ditonjolkan. Kemudian
aku dapati mereka berubah total 360ยบ dari masa SD dulu.
Tetapi untuk apa aku sedih melihatnya? Bukankah itu wajar saja kalau seseorang berubah
total setelah sekian lama?
Ini belumlah menjawab pertanyaan mengapa aku sedih.
Kemudian aku bandingkan gambaran mereka di masa dulu dengan yang
sekarang sampai-sampai kulihat buku tahunan dulu.
Inilah bentuk konkrit perubahan yang terjadi,
Ada yang dulunya polos dan jarang bergaul, sekarang menjadi percaya diri
namun berlebihan. Berlebihan hingga berani menampakkan perhiasannya,
yakni auratnya.
Ada yang dulunya pendiam tidak banyak bicara, sekarang menjadi banyak bicara namun bicaranya terhias kata-kata yang kurang baik (dog, swine, sh*t, dkk).
Ada yang dulunya anak bandel di sekolah, sekarang menjadi anak bandel di
bar dan tempat ikhtilat.
Ada yang dulunya anak rajin di sekolah, sekarang menjadi anak malas di
kampus.
Ada yang dulunya menenangkan, sekarang menjadi
menyakitkan.
Lalu beberapa saat setelahnya muncullah rasa bersyukur.
Mengapa aku bersyukur?
Lebih tepatnya adalah MENGAPA KITA HARUS BERSYUKUR?
Ya, kita tentu sadar bahwa kita masih mempedulikan diri.
Mempedulikan
diri kita sendiri? Maksudnya?
Maksudnya disini adalah kita masih
mengingat bahwa kita seorang hamba Tuhan.
Ya, hamba Allah. Kita orang yang punya agama. Agama yang paling sempurna pastinya yang kita yakini, Al-Islam, agama
yang haq. Dan semua itu tak mungkin terjadi pada kita tanpa hidayah
dari Allah.
Sekelumit fenomena di atas hanyalah sebagai gambaran untuk kita dalam kesempatan kali ini. Sekarang mari kita ke pembahasan utama. Yakni perbedaan antara orang-orang
yang beruntung, merugi, dan celaka yang tertulis di judul.
Orang yang beruntung adalah orang yang menjadi lebih baik daripada ia di
masa lalunya.
Orang yang merugi adalah orang yang tak menjadi lebih baik daripada ia di
masa lalunya.
Orang yang celaka adalah orang yang menjadi lebih buruk daripada ia di masa
lalunya.
Maka sampailah pada poin terpenting bagi kita setelah ini. Untuk
menghisab dan menyadari TERMASUK GOLONGAN YANG MANA KITA SEKARANG?
Sungguh, hidayah Allah nikmat rasanya, tiada terganti.
Sungguh, hidayah Allah nikmat rasanya, kitalah pilihan-Nya dari sekian banyak orang yang terlalu tenggelam dalam dunia fana namun lalai akan dunia akhirat.
Sungguh, hidayah Allah nikmat rasanya, kitalah pilihan-Nya di MT Al-Khawarizmi ini.
Berjuanglah akhi ukhti fillah, dan mohonlah kepada Allah untuk menetapkan hati
dan badan kita untuk selalu istiqomah di jalan Allah hingga yaumil akhir nanti.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Hasyr: 18)